KABARPASUNDAN.ID – September 2024, Indonesia kembali merenungkan peristiwa kelam yang terjadi pada tahun 1965, yang dikenal sebagai “September Hitam.” Peristiwa ini ditandai oleh kudeta militer dan pembantaian massal yang menewaskan ribuan orang.
Di berbagai daerah, masyarakat umum, aktivis mahasiswa menggelar diskusi, membuka mimbar bebas untuk mengenang korban sebagai pengingat dampak dari peristiwa tersebut terhadap kehidupan politik dan sosial di tanah air. Termasuk yang digelar BEM Universitas Siliwangi (Unsil) Tasikmalaya di lapangan utama Unsil, pada Selasa 24 September 2024 kemarin malam.
Sejarah kelam ini masih menyisakan luka mendalam, serta menimbulkan berbagai interpretasi dan kontroversi hingga saat ini. Para aktivis mahasiswa ini terus mendorong untuk pengakuan dan rekonsiliasi serta menuntut pengungkapan kebenaran dan keadilan bagi para korban.
Melalui tampilan puisi-puisi perlawanan, mereka berharap refleksi ini dapat menjadi momentum untuk memperkuat demokrasi dan mencegah terulangnya pelanggaran hak asasi manusia di masa depan.
“Refleksi September Hitam ini dalam rangka merawat ingatan tentang tindakan pelanggaran HAM. Di bulan ini, kita kembali mengingat bahwa keadilan sepertinya adalah konsep mewah yang hanya ada di buku pelajaran,” ungkap Ketua BEM Unsil Tasikmalaya, Ahmad Riza Hidayat.
Selain itu, pemerintah juga didorong untuk lebih terbuka dalam mengakui sejarah tersebut, sebagai bagian dari upaya penyembuhan kolektif dan pendidikan generasi muda.
“Dengan mengingat sejarah, diharapkan masyarakat dapat belajar dari kesalahan masa lalu dan bersama-sama membangun masa depan yang lebih baik,” katanya.
Menurut dia, Hak Asasi Manusia hanya menjadi mimpi yang tersimpan di dinding-dinding kantor megah pemerintah. Di balik dinding itu para pelanggar HAM masih bisa tersenyum manis di atas panggung-panggung politik, duduk di kursi megah, seolah tidak terjadi pelanggaran dan tidak diadili sama sekali.
“Masyarakat terus dibombardir dengan janji-janji manis, sementara korban dan keluarga terus berharap bahwa keadilan bukan sekedar kata tanpa makna. Hanya kata “hilang ingatan dan kejahatan” yang pantas kita lontarkan kepada pelaku dan pemberi janji manis atas pelanggaran HAM di Indonesia,” pungkasnya. ***