KABARPASUNDAN.ID – Gong Pilkada Kota Tasikmalaya 2024 resmi ditabuh dalam acara yang bertajuk “Medal Pilkada” di halaman GOR Sukapura Dadaha Kota Tasikmalaya, beberapa waktu lalu.
KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu mulai disibukkan dengan berbagai kegiatan-kegiatan tahapan Pilkada.
Dalam perjalanan perebutan kursi kekuasaan ini, kerap diwarnai dengan kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh para kontestannya.
Pengamat Sosial dan Politik Kota Tasikmalaya Asep M Tamam mengatakan, kecurangan dalam arena pemilu berpotensi akan kembali terjadi dan tidak bisa dihindarkan.
Seperti pengerahan Aparat Negeri Sipil (ASN) untuk salah satu pasangan calon, Pemasangan Alat Peraga Kampanye (APK) di sembarang tempat, keterlibatan anak-anak saat kampanye dan pelanggaran administratif.
Namun demikian, kata Asep, money politik atau jual beli suara masih menjadi pelanggaran yang masuk dalam kategori paling atas.
Dalam hal ini, peran Bawaslu sebagai pihak pengawas tahapan Pilkada paling diuji tajinya untuk menunjukkan taring dalam menjaga kepercayaan publik.
“Meskipun hari ini cukup terang benderang praktik politik uang. Tapi, Bawaslu tidak mudah untuk mengkategorisasi dan kemudian menindaknya,” kata Asep saat dihubungi melalui sambungan telepon, Rabu (5/6/2024) kemarin.
Diprediksikan, jual beli suara dalam Pilkada berpotensi kuat terjadi baik di Kota atau di Kabupaten di seluruh Indonesia.
“Jadi acuannya jelas ya, berkaca dari pilpres dan Pileg kemarin di Kota dan Kabupaten Tasikmalaya saja pelaporan tidak lebih dari lima, dan itu tidak ada yang ditindak,” ujar Asep.
Bagi dia, kejadian seperti itu sangat ironi dan mirisnya lagi kecurangan pelanggaran tersebut dilakukan oleh politisi yang notabene akan dipilih oleh masyarakat sebagai pemimpin.
Politisi hari ini, kata Asep, menganggap pelanggaran seperti lalapan yang hanya hinggap di hidung saja yang ketika di lap pakai tangan sudah bisa hilang.
Mereka menganggap ini suatu yang biasa atau realitas politik kita. Tetapi, yang perlu ditekankan dibalik kata realitas itu ada dua kata yang hilang yaitu kata yang dan salah.
“Jadi, bahwa money politik itu adalah realitas politik yang salah. Jangan berhenti dalam kata realitas saja tapi harus berhenti dari kata yang salah,” tegasnya.
“Tentu saja Bawaslu, masyarakat ataupun siapa saja yang menyuarakan anti money politik itu untuk tidak menyerah pada realitas yang salah,” kata Asep menambahkan.
Maka dari itu, Asep mengajak kepada seluruh elemen masyarakat termasuk para ulama untuk terus lantang beruara dalam melawan politik uang.
“Artinya memang kita butuh banyak lagi tenaga meskipun realitasnya tidak mudah, jadi harus ada sinergitas. Apapun yang terjadi, sekecil apapun suara kita jangan sampai surut,” tukasnya. **