Oleh: Dr. H. Dadang Yudhistira, SH,. M.Pd.
Wakil Ketua Bidang Mental dan Spiritual Kwarcab Kota Tasikmalaya
—————————————-
Ironis memang, bahkan terkesan kontradiktif di saat pemerintah menggaungkan pendidikan karakter dan gerakan revolusi mental, Ekskul Wajib Pendidikan Kepramukaan (EWPK) di sekolah dihapuskan. Pemerintah dalam hal ini Mendikbud bukan memperkuat pendidikan kepramukaan sebagai gerakan nasional pembinaan karakter (GNPK), tetapi seakan yang terjadi sebaliknya yaitu menggembosi pendidikan kepramukaan yang sudah jelas dan terang benderang tujuan, isi pendidikan, prinsip dasar dan metodiknya.
Keputusan penghapusan EWPK di sekolah tidak bisa disembunyikan. Hal ini terang benderang Mendikbud telah menghapuskan Permendikbud Nomor 63 Tahun 2014 tentang Ekstrakurikuler Wajib Pendidikan Kepramukaan (EWPK) dengan diterbitkannya Permendikbudristek nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum Merdeka.
Tak ayal lagi dan tak bisa dibendung jika kemudian keputusan Mendikbud tersebut telah menimbulkan reaksi dari berbagai kalangan dengan pandangan, sudut pandang dan pemikiran yang berbeda beda.
Bagi gerakan Pramuka (GP) dihapuskannya Permendikbud nomor 63 Tahun 2014 tidak terlalu berpengaruh, bahkan banyak yang memiliki pandangan dengan pernyataan “apakah ruginya bagi organisasi gerakan Pramuka”? Memang, organisasi gerakan Pramuka tidak bisa dihapuskan oleh terbitnya Permendikbudristek nomor 12 Tahun 2024 ini. Mengapa? Ya, karena Gerakan Pramuka dibangun dengan payung hukum yang jelas yaitu UU RI nomor 12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka, yang secara khierarkis dalam tata hukum di Indonesia sebagaimana UU RI nomor 12 Tahun 2012 tentang Pembentukan Undang-undang, suatu UU lebih tinggi kedudukannya dari pada sekedar Permendikbudristek nomor 12 Tahun 2024.
Dari sudut pandang penulis, munculnya polemik dan problematika EWPK di sekolah ini dimungkinkan karena peran Kwartir khususnya Kwartir Nasional yang kurang peka dan belum satu frekuensi dengan pihak pemerintah khususnya Kemendikbud. Di satu sisi produk hukum dan kebijakan di Kemdikbud terus bergulir melakukan penyesuaian, namun disayangkan pihak Kwartir Nasional lebih banyak stagnan. Salah satu buktinya adalah banyak sekali petunjuk petunjuk pelaksanaan (Jukran) gerakan Pramuka yang masih berlaku sebelum terbitnya UU Gerakan Pramuka. Seharusnya, semua Jukran yang terbit sebelum diundangkannya UU Gerakan Pramuka, segera direvisi dan disesuaikan.
Sekalipun, dihapuskannya Permendikbud no 63 Tahun 2014 tentang EWPK tidak akan ada pengaruh signifikan terhadap organisasi gerakan Pramuka, semua pemangku kepentingan di gerakan Pramuka seharusnya juga sadar bahwa peserta didik dari Gerakan Pramuka adalah peserta didik yang notabene adalah siswa di sekolah dan madrasah, atau peserta didik di satuan pendidikan dari mulai jenjang pendidikan dasar, menengah dan Pramuka pandega di pendidikan tinggi. Boleh dikatakan, bahwa tanpa peserta didik di satuan pendidikan maka gerakan Pramuka tak punya arti apa-apa, sekalipun kita faham ada anggota Pramuka dewasa, tapi jumlah dan kiprahnya tidak terlalu signifikan. Pramuka dewasa sebagai pembina takkan punya arti jika tidak ada orang yang menjadi sasaran pembinaan.
Memang, gerakan Pramuka memiliki prinsip sukarela. Setiap orang termasuk siswa bebas memilih jenis ekstrakurikuler yang sesuai minat, bakat dan potensi dirinya. Memang, ada jenis ekstrakurikuler lainnya yang bisa diikuti oleh siswa di sekolah atau madrasah. Dan harus diakui bahwa tidak semua siswa di sekolah atau madrasah suka dan berminat masuk jadi anggota Pramuka.
Dalam pandangan penulis juga banyak pihak, diwajibkan saja, masih ada siswa yang tidak ikut di kegiatan pendidikan kepramukaan, apalagi prinsipnya sukarela ?
Sikap dan reaksi atas penghapusan EWPK di sekolah tersebut bukan hanya datang dari pakar pendidikan, atau pengelola Gerakan Pramuka saja tetapi juga dari anggota DPR Pusat, yang secara khusus Mendikbud dipanggil dalam rapat dengar pendapat (RDP) khususnya oleh Komisi yang membidangi pendidikan.
Mendikbud tidak usah pongah dengan kurikulum merdekanya. Juga tidak harus bangga dengan kebijakan projects penguatan profil pelajar Pancasila (P5). Mengapa?
Pertama: Adanya P5 tak bisa menggantikan Gerakan Pramuka dan pendidikan kepramukaan bagi anggota Pramuka. Gerakan Pramuka sudah sangat jelas dasar, tujuan, prinsip dasar dan metodiknya. Demikian pula, gerakan Pramuka sudah berakar pada diri bangsa ini sejak kelahirannya sebagai organisasi kaum muda yang diperuntukkan untuk pembinaan karakter bangsa, sikap nasionalisme dan patriotisme kaum muda, dan semua kegiatannya sudah sangat komprehensif dibarengi dengan aturan-aturan yang mengiringinya. Hal ini berbeda dengan P5 yang menjadi ikon Mendikbud era Jokowi.
Kedua: bahwa adanya P5 bukanlah barang baru. Sejak Merdeka, meskipun kurikulum pendidikan saat itu tidak disebut sebagai Kurikulum Merdeka Ir. Soekarno sudah sejak awal menapakkan kebijakan Nasional Character Building, gerakan nasional pembinaan karakter bangsa. P5 bukanlah barang baru, karena sejatinya merupakan kebijakan pembinaan karakter di sekolah atau madrasah yang melanjutkan atau merevisi kebijakan pembinaan karakter yang diterbitkan oleh menteri-menteri sebelumnya. Sebut saja, pada era menteri sebenarnya diterapkan yang namanya Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa (PBKB) yang disertai dengan juknisnya yang fokus pada 18 nilai dasar karakter. Kemudian berubah menjadi Penguatan Pendidikan Karakter (PPK), dan di kurikulum merdeka diviralkan dalam P5.
Ketiga: Kebijakan P5 dalam Kurikulum Merdeka, banyak yang miskonsepsi atau mall-praktek dalam pelaksanaannya. Banyak guru yang bingung menerapkan. Banyak guru yang fokus pada projek dan produknya, bukan pada penumbuhan nilai-nilai karakternya. Jadi, P5 bukanlah wahaha yang bisa menggantikan Gerakan Pramuka dengan pendidikan kepramukaannya.
Terlepas, dari sikap Mendikbud setelah RDP dengan pihak DPR untuk melakukan pendalaman dan mengadopsi pola gerakan Pramuka untuk kegiatan ko-kurikuler dan mengintegrasikan P5 dalam pendidikan kepramukaan, yang terpenting menurut penulis lebih baik urus gerakan Pramuka oleh semua stakeholder sebagai organisasi pembinaan karakter bangsa yang saat ini kondisinya tidak semakin baik, korupsi makin merajalela bahkan menembus semua lini, tindak kekerasan makin merajalela, sikap nasionalisme, wawasan kebangsaan dan cinta tanah air makin luntur serta dekadensi moral yang semakin bejat.
Semoga masih banyak orang yang mau berjihad di Gerakan Pramuka. Mari hidupkan terus Gerakan Pramuka, dan jangan menumpang hidup di Gerakan Pramuka.