Oleh:
Dr. H. Dadang Yudhistira, S.H., M.Pd.
≠===================
Negara Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat). Hal ini sudah jelas dan terang benderang tertuang dalam konstitusi NKRI yaitu UUD 1945, pasal 1 ayat (3) yang menyatakan *negara Indonesia adalah negara hukum*.
Dalam negara hukum, setidaknya ada 2 (dua) prinsip utama. Yang pertama adalah prinsip *supremasi hukum*, dimana hukum ditempatkan sebagai tempat tertinggi. Kekuasaan tertinggi diletakkan pada hukum yang ada dan berlaku sebagai hukum positif yang bersifat mengikat dan memaksa. Yang kedua, adalah prinsip equality be for the law, yang mengindikasikan bahwa hukum berlaku sama untuk semua orang, tanpa pilih kasih, tanpa pandang bulu, tanpa tebang pilih, alias berkeadilan.
Hal ini secara tegas dijelaskan dalam pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yakni “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Pasal di atas, tegas bahwa siapapun yang melanggar hukum, apakah dia pejabat tinggi negara, pejabat pemerintahan, pejabat kepolisian, pejabat tinggi di tubuh TNI, pengusaha, pedagang, pegwai pemerintahan, rakyat dengan profesi apapun sama kedudukannya di dalam hukum sesuai azas equality be for the law tersebut. Jadi tidak boleh ada pilih kasih, atau tebang pilih dalam penegakkan hukum di Indonesia ini.
Akhir-akhir ini di minggu kedua Maret 2023, kita dihebohkan oleh adanya pelaku pelanggar hukum narkoba yang jelas viral di media online. Yang pertama artis ibukota, yang kedua katanya Kepala Bappeda Kota Tasikmalaya yang berinisial AA. Yang menjadi pertanyaan publik adalah mengapa hukumannya hanya berupa rehabilitasi??
Sementara jika pengguna narkoba rakyat kecil yang tak berduit dan bukan publik figur, hukumannya berat dan langsung masuk bui, tak bebas seperti pelaku kriminalitas yang sama yang seringkali mendapatkan perlakuan istimrwa? Apakah karena mereka punya duit, dan dengan duitnya hukum dan oknum penegak hukum bisa dibeli?? Inilah yang sesungguhnya yang menggoreskan luka rakyat atas perlakuan hukum yang tidak berkeadilan.
Perlakuan hukum yang tidak berkeadilan seperti itu, makin menguatkan pendapat umum yang menyatakan bahwa hukum bisa dibeli. Siapapun yang punya duit banyak, tidak perlu takut melanggar hukum termasuk korupsi, karena masih ada oknum penegak hukum yang bisa disogok, sehingga diperlakukan khusus dan istimewa, berbeda dengan orang kecil yang tidak punya duit.
Perlakuan hukum yang tidak berkeadilan juga makin menguatkan pendapat umum bahwa hukum tumpul ke atas, tetapi tajam ke bawah. Sekalipun melanggar hukum, dia pejabat diperlakukan khusus dan istimewa terlebih dengan duitnya yang banyak, meskipun hasil korupsi dalam jabatannya. Pandang ini makin menguatkan bahwa hukum pedas untuk si miskin, tetapi manis untuk si kaya. Hukum pedas untuk rakyat, tetapi manis terasa untuk pejabat. Mengapa? Jadi apa artinya pasal 1 ayat (3) dan pasal 27 ayat (1) UUD 1945?? Jadi apa artinya prinsip equality be for the law? Jadi apa artinya prinsip supremasi hukum?
Rasanya, upaya para pihak yang berjuang mengajarkan tentang makna hukum, pendidikan karakter, pendidikan anti korupsi, pendidikan bela negara, dll ditertawakan oleh para mahasiswa dan peserta didiknya. Mereka melihat fakta bahwa hukum tumpul kepada orang kuat dan berkuasa. Hukum tumpul kepada orang yang berduit.
Kapankah negara hukum ini akan dikawal oleh para penegak hukum yang jujur, adil dan memiliki hari nurani??
Wallahu alam bishowab.
Penulis:
Dosen Pendidikan Pancasila, PKn dan Pendidikan Anti Korupsi
STIABI Riyadul Ulum Pondok Pesantren Riyadlul Ulum Wadda’wah Condong Tasikmalaya.