fbpx

Kajian Sosiologis: Meluruskan Tradisi Munggahan

Oleh:

Dr. H. Dadang Yudhistira, M.Pd.

====================

 

Setiap kali jelang puasa Ramadhan, selalu muncul suatu tradisi yang tidak bisa dilupakan, khususnya untuk orang di wilayah Priangan dan masyarakat Jawa Barat pada umumnya, yaitu tradisi munggahan.

Tradisi munggahan ini kemudian meluas bukan hanya dilakukan di kalangan masyarakat Jawa Barat, tetapi makin hari tradisi munggahan mulai merambah ke belahan bumi dan masyarakat yang lebih luas.

Tradisi munggahan ini biasanya dilakukan sebagai tanda syukur dan kegembiraan jelang datangnya Ramadhan. Tradisi munggahan saat ini biasanya diisi dengan acara makan-makan dengan memgundang dan mengumpulkan sanak saudara atau teman-teman, sahabat karib baik dalam keluarga maupun sahabat karib di lingkungan pekerjaan. Acara botram atau makan-makan tersebut ternyata tidak hanya dilakukan di lingkungan rumahan, tetapi tradisi munggahan telah mendongkrak pola budaya baru, yang membesarkan omset dan penghasilan para pelaku bisnis. Tak ayal lagi, warung-warung baso, rumah makan, cafe, tempat wisata mendadak penuh sesak oleh orang-orang yang melaksanakan munggahan.

Hal tersebut berbeda dengan era dulu di masa 60 tahun kebelakang. Bagi anak-anak di kampung saat itu, acara munggahan dahulu diisi dengan kegiatan rame-rame mandi membersihkan diri di sungai, kolam, atau tempat mandi lainnya sambil bersuka ria dengan dunia anak-anak saat itu, yang belum mengenal mall, tempat main, tempat wisata, atau game yang ada saat ini.

Bagi ibu-ibu di kampung, tradisi munggahan juga seringkali diisi dengan saling kirim barang makanan, sebagai tanda membangun kekerabatan dan silaturahmi, terlebih dengan sanak saudara jauh. Sekalipun ada acara makan-makan, dahulu tidak menjadi poin utama dalam acara munggahan. acara munggahan juga diisi pula dengan saling kunjung untuk saling memaafkan antar sesama.

Sangat disayangkan, saat ini telah terjadi pergeseran budaya dan nilai-nilai. Saat ini tradisi munggahan nampak lebih menampakkan makan-makannya ketimbang menganalisa esensi dari munggahan itu sendiri.

Apakah tidak boleh kita munggahan dengan acara makan-makan? Apakah kita tidak boleh bergembira menyambut Ramadhan dengan makan-makan lewat acara munggahan????

Jawabannya tentu boleh sepanjang sesuai dengan tuntunan syariat dan tradisi positif. Tapi, mengapa banyak orang yang mengisi acara munggahan hanya dengan acara makan-makan saja, dilanjutkan dengan hiburan? Boleh jadi ini disebabkan kurangnya pemahaman atas esensi dari munggahan.

Kata _munggahan_ secara etimilogis berasal dari kata unggah mendapatkan imbuhan menjadi kata kerja munggahan. Jika dikaji secara hakiki, istilah unggah artinya naik atau meningkatkan. Apa yang harus ditingkatkan untuk menghadapi bulan Ramadhan sebagai bulan yang penuh rahmat, magfiroh dan pengampunan? Ilustrasinya, jika di bulan-bulan sebelum Ramadhan kualitas keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT belum maksimal, maka menjelang dan selama bulan Ramadhan harus meningkat (unggah). Maka orang tua dulu ketika menghadapi Ramadhan sering mengistilahkan dengan sebutan rek munggah (mau menghadapi bulan peningkatan) yang kemudian ditunjukkan dengan tradisi munggahan. Maka acara munggahan diisi dengan hal-hal penting berupa kesiapan fisik dan mental agar dapat menjalankan puasa dengan baik di bulan Ramadhan.

Sejalan dengan perkembangan jaman, dan rendahnya pemahaman atas nilai-nilai tradisi munggahan, maka akhir-akhir ini tradisi munggahan hanya disamakan dengan acara makan-makan.

Sejatinya, acara munggahan diisi dengan kegiatan amal shaleh yang dapat meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT.

Makan-makan atau hiburan ke tempat wisata jelang datangnya Ramadhan sah-sah saja, namun lebih elok jika sebelumnya diajarkan dahulu esensi kata munggahan dan digemakan penting nya meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT dengan melaksanakan kebaikan-kebaikan, bukan sekedar makan-makan.

Akankah tradisi munggahan yang semula unik dan agamis makin pudar oleh adanya pergeseran budaya dan nilai-nilai kekinian yang lebih mengarah kepada hidup berfoya-foya?.

Wallahu alam bishowab.🙏

 

Penulis merupakan Dosen STIABI Riyadul Ulum Pondok Pesantren Riyadlul Ulum Wadda’wah Condong Tasikmalaya.