Oleh:
Dr. H. Dadang Yudhistira, S.H., M.Pd.
Dosen STIABI Riyadul ‘Ulum (Ponpes Riyadlul ‘Ulum Wadda’wah) Condong Tasikmalaya
Setiap tanggal 20 Mei, bangsa Indonesia yang dalam dirinya masih menyimpan rasa kebangsaan atau jiwa nasionalisme, memperingatinya sebagai salah satu hari besar nasional, yaitu: Hari Kebangkitan Nasional
Hari kebangkitan nasional yang dijadikan sebagai salah satu hari besar nasional itu, tidak dapat dipisahkan dari peristiwa lahirnya organisasi pergerakan nasional pertama Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908, yang terlahir dari pemikiran tokoh-tokoh berpendidikan, seperti Dr. Soetomo, dkk.
Kondisi bangsa Indonesia sebelum merdeka, ditandai dengan kemelaratan rakyat akibat penjajahan Belanda yang sudah berlangsung ratusan tahun. Kemiskinan, kebodohan, penderitaan merupakan potret pahit yang dirasakan bangsa Indonesia selama masa penjajahan. Penjajahan dari sudut pandang humanisme, merupakan bentuk pelanggaran atas hak asasi manusia dan kemanusiaan, seperti halnya perbudakan yang sudah berlangsung ratusan tahun, yang secara perlahan sejalan dengan perjalanan sejarahnya bangsa di dunia mulai dihapuskan.
Maka, ketika Indonesia merdeka, bangsa Indonesia melalui para pendiri negara ini dengan tegas menyatakan bahwa “Sesungguhnya kemerdekaan itu adalah segala bangsa, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan” (Pembukaan UUD 1945 Alinea-1).
Atas kondisi bangsa yang melarat, menderita dan bodoh akibat penjajahan tersebut lahirlah pemikiran-pemikiran dan perasaan senasib sepenanggungan. Perasaan senasib sepenanggungan sebagai rakyat terjajah ini mendorong lahirnya rasa persatuan diantara suku-suku bangsa di Indonesia, yang kemudian membangkitkan rasa nasionalisme Indonesia.
Harus diakui bahwa lahirnya rasa dan pemikiran-pemikiran nasionalisme Indonesia merupakan hasil pendidikan. Pendidikan menjadi pemicu munculnya kesadaran akan nasionalisme Indonesia. Pendiri Boedi Oetomo dan tokoh-tokoh pergerakan nasional Indonesia, merupakan orang-orang yang berpendidikan cukup tinggi saat itu. Yang membanggakan adalah ilmu dan kualitas pendidikan mereka diabdikan untuk membangun nasionalisme menuju Indonesia merdeka. Pada masa itu, mereka benar-benar berjuang tanpa pamrih. Berjuang untuk membangun nasionalisme Indonesia, yang kemudian membuahkan lahirnya kemerdekaan Indonesia, lepas dari penjajahan. Mereka berjuang tidak untuk minta dihargai. Mereka berjuang tidak untuk meminta jabatan politik di pemerintahan atau keinginan-keinginan atau syahwat politik.
Momentum Hari Kebangkitan Nasional berkorelasi dan berkontribusi atas lahirnya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, yang menandai lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagai negara merdeka dan berdaulat di bawah naungan Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu, harus diakui bahwa takkan lahir kemerdekaan Indonesia jika tidak lahir sebelumnya kesadaran dan semangat nasionalisme Indonesia yang digagas oleh para pelajar dan mahasiswa serta kaum cendekia era 1908.
Kini di tahun 2023, momen sejarah yang diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional itu memasuki usia ke-115 tahun yang sejatinya mampu menggelorakan warga bangsa ini untuk menunjukkan rasa nasionalisme yang tinggi, makin berisi dan bermakna, makin tumbuhnya rasa bangga dan kecintaan pada tanah air Indonesia yang telah membesarkannya. Namun dalam kenyataannya, impian tersebut sangatlah berbanding terbalik. Hal ini ditandai dengan berbagai peristiwa politik dan gejolak sosial yang makin kurang menguntungkan untuk pembangunan bagi kemajuan bangsa dan negara. Sebut saja salah satunya adalah tata kelola pemerintahan dan bidang hukum yang tidak berpihak secara tegas dan nyata terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Secara kuantitatif, Indonesia sudah memiliki orang-orang yang berpendidikan tinggi, baik yang kini duduk di lembaga negara, lembaga pemerintahan, lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif, lembaga penegak hukum di pusat maupun di daerah dan di berbagai sektor pemerintah serta sektor swasta lainnya. Namun disayangkan, tingginya orang-orang yang berpendidikan tinggi tidak serta merta menurunkan angka kejahatan korupsi di Indonesia. Bahkan dapat dikatakan korupsi di Indonesia semakin merajalela, semakin masif dan terstruktur serta terjadi pada semua lini. Akhirnya dapat dikatakan, bahwa tingginya tingkat pendidikan tidak berkorelasi dengan menurunnya kejahatan korupsi di Indonesia. Mengapa? Salah satunya bisa jadi karena pendidikan tidak membekali orang dengan akhlak atau karakter jujur, tetapi hanya membekali mereka dengan sekedar pengetahuan tinggi, tanpa dibarengi dengan akhlak mulia. Faktor lainnya adalah akibat rendahnya jiwa dan semangat nasionalisme Indonesia. Mereka mungkin dengan ilmu dan pendidikan tingginya mengambil keuntungan untuk dirinya dari negara, bukan sebaliknya berbakti dan rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara. Hal ini berbeda dengan pernyataan mantan Presiden Amerika John F. Kennedy yang menyatakan; “Jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu, tapi tanyakanlah apa yang kamu berikan kepada negaramu”.
Tanpa semangat nasionalisme, boleh jadi yang terjadi sekarang adalah sebaliknya, sehingga yang ada setiap orang berlomba-lomba mengambil keuntungan dari negara, bahkan dengan jahatnya merampas dan merampok harta negara untuk kepentingan diri dan kelompoknya.
Kini, saatnya kita bangsa Indonesia kembali mengktualisasikan kembali jiwa dan semangat kebangkitan nasional, jiwa dan semangat nasionalisme, rasa cinta tanah air dan bangga berbangsa Indonesia, dengan mengubah paradigma berfikir “berikanlah untuk negara dan kesejahteraan rakyatnya” dan bukan menggerogoti, merampas dan merampok harta negara untuk kepentingan diri dan kelompoknya.
Kini dan ke depannya dibutuhkan pemimpin negara yang negarawan. Kini dan ke depannya dibutuhkan tokoh bangsa yang mampu menyatukan dan membangkitkan kembali rasa kebangsaan, dan bukan tokoh yang membuat timbulnya polarisasi bangsa dan desintegrasi bangsa.